Belajar Oenologi Sambil Nyantai: Teknik Tasting yang Bikin Penasaran

Belajar Oenologi Sambil Nyantai: Teknik Tasting yang Bikin Penasaran

Kalau kamu pernah nonton acara wine tasting dan berpikir, “Wah, itu kayak ilmu sihir ya,” saya juga. Dulu saya pikir oenologi cuma buat sombong-sombongan: cangkir kecil, anggukan misterius, kata-kata kayak “terroir” dan “bouquet” yang membuat saya ingin menyelinap keluar. Tapi setelah beberapa percobaan (dan tumpahan merah anggur di karpet—maaf, Mama), saya sadar belajar oenologi itu bisa santai, menyenangkan, dan malah bikin penasaran tiap kali buka botol.

Kenapa belajar oenologi nggak harus serius?

Satu hal yang selalu saya tekankan ke diri sendiri: tasting itu pengalaman sensorik, bukan ujian. Saat pertama kali mulai, suasana itu penting. Duduk di balkon sore, ada musik jazz pelan, lilin kecil, segelas (atau dua) untuk latihan—itu lebih bikin mood ketimbang barisan gelas laboratorium. Saya sering tertawa sendiri ketika mencoba mendeskripsikan aroma: “Kayak apel, tapi bukan apel kebun, lebih ke apel yang habis digosok di wajan.” Lucu, tapi itulah yang membuat bahagia.

Langkah-langkah tasting yang gampang diikuti

Ada struktur sederhana yang saya gunakan tiap kali tasting supaya nggak bingung: lihat, goyang, cium, minum, dan catat. Pertama, lihat: warna dan kejernihan memberi petunjuk usia dan gaya. Kedua, goyang atau swirl: ini melepaskan aroma. Ketiga, cium: jangan langsung comot napas panjang—ambil beberapa hembusan pendek, lalu hembus panjang. Keempat, ambil seteguk kecil dan biarkan mengalir ke seluruh mulut sebelum menelan atau meludah (iya, meludah itu normal di sesi formal). Akhirnya, perhatikan finish: seberapa lama rasa bertahan setelah menelan. Itu yang sering bikin saya terpana—kadang ada aftertaste yang tiba-tiba seperti ingatan masa kecil.

Saya juga pernah ikut workshop singkat yang merekomendasikan skema sederhana: varietal, sweetness, acidity, tannin, body, finish. Menulis di buku kecil bikin kita ingat progres. Kalau mau lebih serius, kursus online atau tempat seperti oenologycentre bisa jadi rujukan bagus untuk belajar teori tanpa harus ngerasa pusing.

Bagaimana membangun memori rasa?

Membangun memori rasa itu seperti belajar bahasa baru. Awalnya semua rasa terasa “enak” atau “enggak enak”, tapi kalau sering latihan, kamu mulai bisa bilang, “Oh ini blackcurrant, ini cedar, ini vanilla.” Trik saya: bandingkan. Ambil dua botol sejenis dari tahun berbeda, atau dua varietas yang mirip. Coba tutup mata dan tebak—kalau salah, tertawalah dan coba lagi. Saya suka catat satu kalimat lucu untuk tiap botol, misalnya: “2016 ini kayak pacar lama yang balik lagi—lebih matang tapi masih manis.”

Tips kecil biar nggak malu di tasting party

Beberapa tips praktis dari pengalaman blunder saya: jangan pakai parfum nyengat (orang di sebelahmu bisa kesal), jangan makan bawang putih sebelum datang (ya, saya pernah), dan bawa bolpen kecil untuk nge-scribble impresi. Kalau kebingungan, ajukan pertanyaan—“Menurutmu ada rempah apa?”—dan siap-siap dengar jawaban kocak. Dan kalau ada kecemasan soal “meludah”, santai saja; banyak orang profesional juga melakukannya supaya bisa coba banyak wine tanpa mabuk.

Oh ya, kenali juga tanda-tanda wine yang bermasalah: aroma seperti botol basah (cork taint), bau seperti cuka (oksidasi), atau rasa aneh yang tajam karena sulfites berlebih. Jangan takut bilang, “Ini kayak… rusak,” karena itu bagian dari belajar.

Penutup: nikmati prosesnya

Belajar oenologi itu bukan soal jadi sombong atau menyusun daftar kata-kata mewah. Bagi saya, itu tentang membuka indera, berani salah, tertawa, dan punya cerita tiap botol. Ada malam-malam ketika saya cuma duduk, baca note tasting lama, dan tersenyum karena bisa mengingat suasana—lantai kayu yang berdecit, hujan, atau teman yang membawakan kue cokelat. Kalau kamu baru mulai, bawalah rasa penasaran, sedikit keberanian, dan jangan lupa lap kain kalau ada tumpahan. Cheers untuk perjalanan rasa yang santai tapi penuh kejutan.

Leave a Comment