Kita sering dengar istilah “oenologi” kayak kata keren yang cuma buat orang pinter di lab atau pemilik kebun anggur. Padahal, belajar memahami anggur nggak harus pake jas laboratorium — cukup modal rasa ingin tahu, sedikit keberanian, dan gelas yang nggak retak. Ini catatan pengalaman aku, bukan kuliah formal, lebih ke diary yang kebetulan ada aroma oak dan sedikit gosip tentang tannin.
Kenalan dulu: apa itu oenologi tanpa bikin pusing
Oenologi singkatnya ilmu tentang proses pembuatan wine, dari kebun sampai ke gelas. Di sini kita belajar soal varietas anggur (Cabernet Sauvignon, Chardonnay, atau yang lokal juga boleh bangga), kondisi tanah, iklim, sampai teknik fermentasi. Intinya, oenologi nyambung ke dua hal besar: vitikultur (ngurus kebun) dan proses pembuatan di winery. Kalau tanaman sehat dan pembuatnya pinter, kemungkinan wine-nya enak lebih besar — tapi tetap ada faktor hoki alias vintage.
Ngintip proses: dari daun sampai decanter (biar dramatis)
Prosesnya seru: panen, pemilihan buah, penggilingan, fermentasi (ragi bekerja, gula jadi alkohol), kadang malolactic fermentation yang bikin rasa lebih lembut, dan aging—baik di stainless atau oak. Oak itu si tukang gaya: dia kasih vanila, toast, atau spice, tergantung seberapa lama wine tidur di batang kayu itu. Oenologi juga ngamatin mikrobiologi sedikit, jadi ada unsur ilmiah yang bikin setiap botol punya cerita sendiri.
Kalau mau tahu lebih teknis, banyak sumber bagus di internet. Satu yang sering aku intip buat referensi kelas dan kursus adalah oenologycentre, lumayan buat yang pengen serius tapi nggak mau bengong di lab.
Tasting santai: lima langkah yang nggak sok ilmiah
Nah, bagian favorit aku: tasting. Bukan buat pamer, tapi buat belajar bahasa rasa. Teknik dasarnya simpel banget: lihat, goyang, cium, cicip, dan renungkan. Pertama lihat warnanya — merah tua atau lebih ruby? Kalau putih, bening atau agak keemasan? Warna kasih petunjuk umur dan gaya.
Kedua goyang gelas pelan. Lihat legs atau tears yang turun — ini cerita sedikit tentang alkohol dan gula. Ketiga, cium. Ambil napas panjang, rasain aroma primer (buah), sekunder (hasil fermentasi), dan tersier (aging). Kadang aku pake istilah “nyaftu” buat aroma yang susah diungkapin; lucu-lucu gimana gitu.
Keempat, cicip. Biarkan wine merata di lidah: bagian depan untuk rasa manis, samping untuk acid, belakang untuk bitter/tannin. Rasain struktur, balance antara acidity, tannin, alkohol, dan residual sugar. Kelima, aftertaste — seberapa lama rasa itu nempel? Kalau lama, berarti wine-nya kompleks.
Tips santai anti-sok tahu
Beberapa hal sederhana yang aku pelajari: gunakan gelas yang layak (bukan gelas air mineral), suhu penting — putih dingin, merah agak hangat, sparkling paling dingin. Jangan takut buat nge-note. Buat aku, mencatat aroma absurd kayak “stroberi jamu” kadang jadi memori lucu di kemudian hari.
Jangan juga kaget kalau satu orang bilang “ada aroma cedar” dan kamu ngerasa cuma “yah bau anggur aja”. Selera itu personal, dan itu yang bikin tasting asyik: diskusi dan bikin tebak-tebakan asyik sambil makan camilan.
Catatan kesalahan ala aku yang lucu tapi bermakna
Pernah aku panik di acara tasting karena salah ambil gelas — dua gelas sama namanya, beda wine. Ada juga pengalaman ngebahas wine mewah tapi aku malah makan kerupuk sambil ngevibe; hasilnya, rasa berubah total. Pesan moral: bersihin palate, jangan makan makanan kuat sebelum tasting, dan jangan malu kalau bilang “aku suka” tanpa perlu nyeritain seluruh proses fermentasi.
Di akhir hari, belajar oenologi dan teknik tasting itu soal melatih rasa dan cerita. Wine itu media ngobrol yang elegan — bisa serius, bisa juga absurd. Kalau kamu lagi mulai, santai aja: buka botol, ajak teman, dan biarkan hari itu ditandai oleh rasa dan tawa. Selamat mencoba, cheers, dan ingat: nikmati prosesnya, bukan cuma hasilnya.