Mengenal Oenologi Lewat Teknik Tasting yang Bikin Lidah Penasaran
Aku nggak pernah membayangkan diri jatuh cinta pada segelas cairan yang terbuat dari anggur. Dulu wine terasa eksklusif, ribet, dan agak menakutkan. Sekarang? Wine adalah alat belajar—tentang iklim, tentang manusia yang merawat kebun anggur, dan tentang proses magis yang disebut oenologi. Dalam tulisan ini aku ingin berbagi perjalanan kecilku mengenal oenologi lewat teknik tasting yang sederhana tapi bikin lidah penasaran.
Apa itu oenologi, sebenarnya?
Oenologi bukan sekadar kata keren buat orang yang minum wine. Oenologi adalah ilmu tentang pembuatan wine: mulai dari pilihan varietas anggur, teknik bercocok tanam, waktu panen, fermentasi, sampai penuaan dan pengemasan. Di laboratorium oenologi, para ilmuwan mengukur gula, asam, alkohol, dan aktivitas mikroba. Di kebun, petani dan winemaker membuat keputusan berdasarkan cuaca, tanah, dan pengalaman. Kedua sisi itu saling melengkapi.
Aku pernah membaca artikel yang membahas kursus singkat di oenologycentre. Bukan promosi—hanya contoh bahwa ada jalan formal untuk mempelajari ini. Tapi bagi kebanyakan kita, teknik tasting adalah gerbang paling menyenangkan untuk memahami oenologi tanpa harus menghafal rumus kimia.
Bagaimana teknik tasting bisa mengajari kita tentang wine?
Tasting itu bukan sekadar nenggak dan menilai enak atau tidak. Ada ritual sederhana yang bisa kita pakai: lihat (visual), goyangkan (swirl), cium (aroma), cicip (taste), dan nilai setelah menelan atau meludah (finish). Setiap langkah memberi petunjuk tentang apa yang terjadi sejak anggur masih menggantung di pohon sampai masuk botol.
Contoh kecil: ketika aku memegang gelas dan melihat warna wine, aku bisa menebak usia kasarnya—merah muda keoranyean pada Pinot yang lebih tua, atau intens ungu pada wine muda. Goyangan gelas memberi tahu aku tentang alkohol dan gula lewat “legs” yang terbentuk. Aromanya? Bisa jadi buah, rempah, tanah, atau bahkan catatan oak seperti vanila kalau wine pernah berinteraksi dengan kayu.
Cara melatih lidah tanpa harus jadi sommelier
Latihan paling mudah adalah membandingkan. Ambil dua botol yang berbeda: salah satunya mungkin sama varietas tapi dari kebun berbeda, atau sama wilayah tapi diproses berbeda (misal oak vs non-oak). Buat catatan singkat: apa yang pertama kali kamu cium? Buah apa yang muncul? Apakah ada rasa kering di lidah (tannin), atau rasa segar di ujung lidah (acidity)?
Ada juga latihan “triangle test”: tiga gelas, dua sama, satu berbeda. Tugasmu menemukan yang berbeda. Ini melatih fokus dan memaksa otak memetakan perbedaan halus. Jangan terburu-buru. Tasting bukan lomba, tetapi percakapan antara dirimu dan wine.
Kisah kecil: pertama kali aku sadar soal terroir
Aku masih ingat sesi tasting sederhana di sebuah kedai kecil. Kita dibawakan dua Chardonnay: satu dari daerah pesisir yang dingin, satunya dari dataran panas. Di gelas pesisir ada aroma citrus dan mineral, rasa yang lebih ringan, asam yang meninju lembut. Yang dataran panas penuh buah kuning matang, lebih berisi, dan ada sentuhan manis. Saat itu baru kulihat bagaimana tanah dan iklim—yang dalam bahasa oenologi disebut terroir—mempengaruhi karakter wine.
Sejak hari itu, setiap kali mencium aroma tertentu, aku menebak bukan hanya jenis buahnya, tapi juga lingkungan tempat anggurnya tumbuh. Itu bikin tasting terasa seperti teka-teki yang sangat memuaskan ketika potongan-potongan jawaban mulai cocok.
Terakhir, jangan takut salah menyebut atau menilai. Kosakata wine memang banyak—tannin, malolactic, lees, dan sebagainya—tapi yang paling penting adalah rasa ingin tahu. Buka botol, cium, cicip, dan ceritakan apa yang kamu rasakan. Dengan teknik tasting sederhana, kamu sudah masuk ke dunia oenologi yang dalam, luas, dan menyenangkan. Selamat mengeksplorasi—biarkan lidahmu penasaran, karena setiap gelas punya cerita.